Semilir angin sejuk membuat makhluk di sekitarnya menggigil. Pohon-pohon Akasia yang berdiri kokoh tampak mengantuk tak berdaya diterpa hembusan angin. Sang surya pun beranjak dari singgasana biru menuju tempat peristirahatannya. Begitulah suasana di bukit Cinta – sebutan untuk bukit belakang rumah yang kini ditempati Anton. Entah mengapa sampai sampai namanya bukit Cinta? Kemungkinan karena saking banyaknya pasangan pasangan remaja labil yang masih bau kencur bermesraan di sini. Hampir setiap akhir pekan, atau bahkan di sore hari yang senggang mereka semua selalu datang sejak tiga tahun yang lalu.
Dalam hati Anton kesal dengan siapa pelopor yang mengenalkan bukit di belakang tempat tinggalnya untuk dikunjungi oleh para pasangan labil. Karena sejak kedatangan mereka semua, bukit ini tak senyaman dan sesunyi yang dulu. Sampai-sampai, banyak coretan yang terukir di sepanjang jalan setapak bukit hingga di sisi kanan kirinya. Coretan coretan itu layaknya sebuah prasasti atau batu Padrao untuk menandakan bahwa mereka pernah menginjakkan kaki di sini. Semua coretan yang berasal dari cat pilog itu tentu saja membuat keindahan dari bukit ini berkurang, dan itulah yang membuat Anton merasa kurang nyaman.
Kekesalan lain yang dirasakan oleh Anton mungkin adalah karena ia baru putus dari kekasihnya, namanya Selly. Hubungan mereka berdua sudah terajut selama dua tahun ini. Namun karena rasa kecemburuan Selly yang terlalu dalam. Kemarin, mereka resmi putus dari hubungan pacar. Padahal Anton hanya mengantarkan Diana, adik sepupunya yang sedang jatuh sakit ke rumah sakit. Masih saja rasa cemburu Selly terhadapnya tak kunjung surut. Hingga puncaknya, semua piring di rumah Selly mendadak berubah menjadi piring terbang saat kedatangan Anton. Dari situlah mereka memutuskan untuk sama-sama menjadi alumni hati. Kini Anton tengah merenung di atas batu kapur di tengah bukit. Di sebelah barat, ia bisa melihat pemandangan mega merah yang mengiringi kepulangan Sang surya, juga tampak dari kejauhan di bawahnya berdiri kokoh bangunan sekolah dasar yang unik dengan sebuah perkampungan joglo di sebelah utara. Semuanya terasa sejuk dan damai dikala melihat keindahan kecil seperti ini. Anton teringat akan sebuah kisah dongeng yang disukainya, yaitu Pinokio. Hal yang saat ini mengingatkannya akan dongeng tersebut berasal dari keindahan panorama yang kini dipandanginya. Dari kejauhan bangunan bangunan di bawah mega merah itu seperti di kisah buku Pinokio.
Kali ini Anton merasakan sedikit lega di hatinya. Karena memang pasangan labil yang biasanya menyusuri sepanjang jalan setapak bukit ini sedang tidak ke sini. Sehingga ia bisa merasakan kenyamanan untuknya sendiri. Sambil memejamkan mata sejenak, serta merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Ia teringat akan masa kecilnya yang seru, dan indah. Bermain kubangan lumpur, main petak umpet, nikah nikahan, masak masakan, dan lain lain. Yang paling ia rindukan adalah bermain sepakbola di tanah lapang tak jauh dari tempatnya saat ini. Dulu serasa sangat begitu indah di hamparan tanah yang tak begitu luas tersebut. Semua anak bergembira saat bermain bersama, entah itu saat bermain sepakbola atau yang lain. Rasa kesetiakawanan, dan persatuan masih kental terasa. Untuk sekarang kenangan itu hanyalah tinggal kenangan, tidak dapat terulang kembali. Sekarang lapangan tersebut sudah terabaikan, bahkan orang tidak tahu kalau dulu itu adalah lapangan. Yang mereka ketahui sekarang adalah, hamparan tanah yang tak begitu luas yang ditumbuhi semak belukar, rumput liar, dan tumbuhan perdu lainnya. Waktu semakin sore saat Anton membuka matanya. Angin sejuk semakin terasa menusuk kulit yang terbalut kain. Namun, ia tetap cuek sembari menyaksikan langit yang kemerah merahan dilalui awan berlalu lalang. Di tengah semakin bergejolaknya semilir angin membawa dedaunan, Anton masih menikmati waktu kesendiriannya itu. Tanpa sadar, di sebelahnya ada seorang gadis sebayanya yang duduk dan menikmati pemandangan petang. Setelah tersadar akan kehadiran sesorang di sampingnya, Anton setengah terkejut melihatnya. Dikiranya, ibunya mencari hingga menemukannya di sini. Ternyata bukan, rupanya gadis itu tidak dikenalnya. Terasa asing baginya, bertemu seorang gadis cantik sebaya di sekitar wilayah perbukitan dekat tempat tinggalnya. “Mungkin saja dia anak baru di sini.” Pikirnya.
Sejenak ia memandangi gadis itu, wajahnya bersih, senyumnya manis, kulitnya kuning langsat dan mulus, tubuhnya ramping dan tinggi semampai, terbalut oleh gaun putih tipis namun tidak transparan dengan tali pundak yang kecil. Tak lama kemudian, gadis itu tersadar dari tatapan indahnya ke langit, lalu menoleh ke arah Anton. Karena merasa canggung, Anton memalingkan tatapannya, kembali menatap langit.
Diiringi hembusan angin sore yang damai, Anton mencoba untuk menghilangkan rasa canggung dan gengsinya.
“Hai! Cuacanya indah sekali sore ini.” Anton yang suaranya diiringi dengan hembusan angin, namun gadis itu belum menjawab malah ikut menatap langit sambil memeluk lutut. “I’m sorry miss. But i would be speak that the wheater is very nice! You can see the sunset above.” ia tetap mencoba untuk memulai pembicaraan, namun sang lawan bicara belum menjawab “Sugeng sonten mbak, dinten niki sae saestu.” Anton masih mencoba berbicara bahasa lain, namun masih saja belum berefek. “Osom e are semangken ce’ raddinah. Kaddhi sampeyan ning!” Anton terpaksa harus menggunakan bahasa penduduk setempat untuk mendapatkan jawaban dari gadis tersebut. Setelah usaha keras dari Anton, gadis itu pun tersenyum dan tertawa ringan. Tawanya itu terdengar renyah dan ramah, hingga Anton terbuai akan kecantikan alaminya yang semakin terlihat. “Can you speak Indonesian? Atau kamu bicara bahasa asli sini? Atau mungkin, kamu orang Jawa? Apanya yang lucu?” Anton masih penasaran akan sikap gadis tersebut.
“Kamu!” jawabnya dengan sisa tawanya sambil menjulurkan lidah. “Kamu siapa maksudnya? Apa kamu melihatku?” ujar Anton semakin mengacau sehingga membuat si gadis semakin menahan tawanya. Ditutupinya mulutnya untuk menahan tawa, sementara itu Anton memberanikan dirinya untuk mendekati gadis tersebut dan memastikan bahwa gadis itu bukanlah orang gila yang tersesat.
“Hei! Ayolah, bisakah kau berbicara normal? Atau mungkin kau ini sakit?” Anton sambil berusaha memegang dahi gadis tersebut.
“Apa apaan sih? Siapa yang tidak normal? Lagian, bukannya merayu malah melawak!” jawab gadis itu yang tawanya kini reda.
“Melawak bagaimana? Siapa yang mau mencoba melawak?” Anton masih penasaran. “Ihh!! Dasar laki-laki, tak mau peka!” ucap gadis itu memalingkan wajahnya ke langit dan memeluk tubuhnya sendiri untuk membuatnya sedikit hangat. Anton yang barusan mendengar perkataan gadis itu, menatapnya dengan aneh. Untuk memperbaiki suasana, ia mencoba untuk mendekatinya lagi.
“Ehm, aku mohon dengarkan sejenak nona. Begini, ya a aku rasa saat ini kita baru atau bahkan belum berkenalan sama sekali. Jadi aku aku minta, maksudku aku ingin meminta maaf atas kesalahanku saat tadi bicara. Aku aku harap sekarang di antara kita tidak terjadi apa apa. Oke fine, aku mengaku salah, dan aku minta maaf.” Ucap Anton dengan grogi, sambil menyematkan bunga ilalang di atas telinganya.
“Iya.” Jawabnya singkat. “Terus.....” Anton semakin penasaran. “Tuh kan, kamu melucu lagi!” seru gadis itu lagi sambil mengagetkan saraf pinggang Anton. “Aduh, geli tahu! Eh eh sudah sudah cukup.” Anton sedikit berteriak, sambil mereka berdua berlarian dan saling berkejaran.
Tak lama mereka berdua saling berkejaran di tengah bukit yang bernama bukit Cinta itu. Akhirnya mereka pun lelah juga. Anton dengan spontan duduk dan merebahkan diri diatas rerumputan yang ditiup angin, juga diikuti oleh gadis yang baru dijumpainya itu. “Oh iya, tuan. Aku dari tadi belum tahu nama kamu. Nama kamu siapa ya?” ucapnya yang masih menatap langit senja. “Perkenalkan aku Antoni Fajrul Mu’minin. Panggil saja aku Anton.” Jawab Anton tanpa menoleh ke arah gadis itu. “Kalau nama nona ini siapa?” tanya balik Anton kepadanya. “Arrenia, kamu boleh panggil aku Arre, atau Arren, atau senyaman kamu pokoknya.” Jawabnya sambil melemparkan senyum yang masih menggoda itu.
“Oh, jadi namamu itu Arrenia? Tapi ngomong ngomong, mengapa kita bisa cepat akrab begini ya?” Anton mencoba mengulur waktu untuk basa-basi.
“Apa itu kita?” tanyanya begitu polos. “Maksudku aku ingin berkata bahwa, di antara aku dan kamu bisa menjadi cepat akrab, dan cepat dekat seperti ini. Meskipun baru berkenalan, aku dan kamu rasanya seperti sahabat.” Jawab Anton panjang lebar. “Rupanya dia belum tahu arti dari kata ‘kita’. “ gumamnya sendiri. “Oh jadi maksud kamu, kita sudah jadi seperti sahabat dekat?” Arrenia memastikan.
“Yup, seperti itulah.” Anton meyakinkan.
“Terimakasih sudah mau menemaniku saat ini, bagiku waktu sekarang ini lebih berharga dari kapanpun.” Ucap Arrenia kagum kepada Anton.
“ I i i iya sama sama. Ehmm, maaf aku hendak bertanya suatu hal.” Anton semakin grogi dibuatnya.
“Silahkan saja.”
“Sebenarnya, kamu ini darimana? Maksudku, aku belum pernah melihatmu sebelumnya.” Anton menata kata sebaik mungkin.
“Oh begitu ya? Sebenarnya aku ini merasa tidak nyaman berada di rumah, entah mulai kapan. Intinya baru baru ini aku merasakan tidak nyaman bila berada di rumah. Jadi, aku mencari kenyamanan, ya seperti saat ini. Di sini bersamamu menikmati langit petang yang sebentar lagi berganti malam. Aku sungguh menikmatinya, meskipun hawa di sini membuatku sedikit menggigil.” Jawab Arrenia, meskipun belum secara penuh menjawab rasa penasaran Anton, namun hal itu dirasa sudah cukup.
“Aduh! Betapa cerobohnya aku, lupa memakai baju hangat.” Seru Anton kecewa.
“Maksudnya ceroboh bagaimana Anton?” tanya Arrenia kurang paham.
“Oh maksudku, aku lupa membawa pakaian hangat untuk menghangatkanmu.” Anton sedikit panik.
“Tidak masalah Anton, terimakasih.” Jawabnya lembut.
“Ehm, bolehkah aku menggenggam tanganmu untuk membantumu merasa hangat?” tanya Anton sopan.
“Kalau itu membantu, silahkan.” Arrenia dengan suara yang kalah oleh terpaan angin.
Hari pun berubah menjadi gelap secara perlahan, kebetulan pada malam itu langit sedang tak berbintang. Namun mereka berdua belum bosan, dan belum mau beranjak dari tempat mereka rebahan. Tak lama kemudian, Anton memejamkan matanya dengan tangan kanan yang masih menggenggam tangan kiri Arrenia. Perlahan, Anton tertidur pulas karena kelelahan.
Malam tanpa bintang tersebut berlalu begitu cepat. Ketika Anton terbangun dari tidurnya, didapatinya ia hanya seorang diri di tengah bukit yang kemarin sore didatanginya ini. “Kemanakah Arrenia pergi? Aku belum sempat tahu alamatnya.” Gumamnya menyesal. Di tengah rasa bingungnya itu, tiba-tiba ia menemukan secarik kertas bertuliskan surat untuknya.
Dear Anton
Terimakasih telah mau menemaniku malam ini. Aku merasakan lebih baik daripada sebelumnya. Oh iya, terimakasih juga telah mengajariku dengan sabar kata kata yang kurang kumengerti, seperti kata ‘kita’. Sekarang aku sudah mengerti apa arti ‘kita’. Aku harap kau tidak menghubung hubungkan aku dengan pertanda pertanda yang biasa digunakan, seperti bidadari. Aku ini bukanlah bidadari. Aku mohon, jangan samakan aku dengan bidadari. Aku pun butuh makan, butuh tempat tinggal, punya kelebihan, juga punya kekurangan. Sekali lagi aku tegaskan, aku bukanlah bidadari. Aku pun berharap jika kita memang jodoh, suatu saat pasti kita akan berjumpa lagi.
Salam terimakasih
Arrenia
“Wah, rupanya kejadian semalam bukan mimpi. Kamuflase yang bagus Arrenia. Suatu saat aku pasti akan berjumpa denganmu lagi.” Ucap Anton sambil menuruni bukit, dan pulang menuju rumahnya yang berada di kaki bukit.
Istilah Istilah kurang familiar
Padrao : patok yang digunakan bangsa Portugis untuk menandai daerah yang pernah didatangi di
saat masa penjelajahan samudera.
“Sugeng sonten mbak, dinten niki sae saestu.” : selamat siang mbak, hari ini begitu indah ya.
“Osom e are semangken ce’ raddinah. Kaddhi sampeyan ning!” : cuaca hari ini indah. Seperti kamu neng!
Kamuflase : kemampuan untuk menyamarkan diri sehingga sebisa mungkin tidak terlihat bagi orang lain.